Dikutip dari: Majalah Yatim Mandiri | Agustus 2021 / Dzulhijjah 1442 H - Muharram 1443 H
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. an-Nisa’: 101)
Sumber gambar: https://www.akseleran.co.id/blog/bisnis-sebuah-perjalanan/ |
Menurut pendapat jumhur arti qashar di sini ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Meng- di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, yaitu di waktu dalam perjalanan dalam keadaan khauf dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam keadaan khauf di waktu hadhar. “Apabila seseorang keluar dari rumahnya kemudian dia membaca doa: bismillaahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illaa billah (dengan menyebut nama Allah, yang tidak ada daya tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah), maka dikatakan kepadanya, “Kamu akan diberi petunjuk, kamu akan dicukupi kebutuhannya, dan kamu akan dilindungi”. Seketika itu setan-setan pun menjauh darinya. Lalu salah satu setan berkata kepada temannya, “Bagaimana mungkin kalian bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi (oleh Allah)”. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi; dishahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud) .
Safar adalah keluar dari tempat tinggal untuk melakukan perjalanan yang jauh, baik itu sendiri-sendiri atau berkelompok, dengan keluarga saja atau dengan teman dekat, atau orang yang ada di suatu lingkungan yang dalam Islam, ada adab-adab yang hendaknya diperhatikan oleh orang yang safar. Dari sisi sosial dan budaya ini adalah suatu rangkaian perjalanan yang memberi warna tersendiri di dalam hidup; seperti bepergian untuk mengunjungi keluarga, mencari rizki, atau perjalanan dalam rangka dakwah di jalan Allah SWT. Tidak mungkin kita sebagai manusia akan selamanya hidup dan tinggal di rumah. Pada saat tertentu pasti kita akan meninggalkan rumah untuk bepergian karena ada kepentingan maupun kebutuhan, baik itu kepentingan kerja, silaturahmi, liburan, atau kepentingan lainnya. Tentunya kita bepergian dengan maksud dan tujuan yang baik apabila kita hendak bepergian. Karena itu hendaknya memperhatikan tata krama atau adab bepergian agar dalam perjalanan selalu dilindungi oleh Allah SWT.
Memantapkan Niat. Niat yang mantap ketika hendak bepergian itu penting. Karena dengan niat yang mantap akan menentukan kemana kita akan bepergian. Seseorang yang bepergian tanpa tujuan yang jelas akan berakibat setan yang menentukan tujuannya dan tentu saja akan menyesatkan, misalnya ke tempat-tempat maksiat. (QS. al-A'raf: 17). Pada momen-momen tertentu bepergian menjadi suatu keharusan seperti pada saat hari raya, atau pada saat ada kematian keluarga, juga kepentingan-kepentingan yang mendesak. Yang penting adalah dengan niat yang baik maka perjalanan akan di-ridhoi dan mendapat pahala dari Allah SWT. Mempersiapkan bekal yang dibutuhkan. Jika kita ingin bepergian apa lagi bepergian jauh sudah pasti memerlukan waktu yang lama, maka harus mempersiapkan bekal atau kebutuhan yang memadai. Termasuk mempersiapakan kondisi fisik yang segar, sehat, makanan, minuman, pakaian dan bila perlu membawa perlengkapan untuk sholat.
Orang yang safar boleh menjamak (menggabungkan) salat ketika safar. Zuhur dijamak dengan Asar, Magrib dengan Isya. Salat Subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan salat sebelumnya atau sesudahnya. Menjamak salat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan) menurut satu pendapat dan yang lainnya mengatakan bahwa menjamak shalat bukan karena masyaqqah tapi karena sifat safar itu sendiri yang menghendaki seseorang memiliki keutamaan dalam menjamak maupun meng-qashar. Jika seorang wanita hendak bersafar maka hendaklah dia safar bersama mahramnya, dan tidak boleh bepergian dalam keadaan sendirian. Seorang wanita jika dia keluar rumah maka beberapa syarat yang harus dipenuhi menurut sebagian ulama yaitu: karena dianggap dharurat, menjaga pakaian untuk menutup dirinya agar tidak terbuka auratnya, tidak menggunakan wangi-wangian dan pakaian yang menyolok, hendaklah bepergian pada siang hari, melakukan perjalanan ditempat yang tertentu agar tidak bercampur dengan orang laki-laki yang bukan mahramnya. (I’lam Bifawaidi Umdatil Ahkam 2/230). Syari’at agama menetapkan sebuah norma yang berlaku bagi wanita bahwa seorang wanita tidak boleh melakukan suatu perjalanan selama tiga hari kecuali kepergiannya itu disertai dengan mahramnya. Pada konteks ini peran seorang laki-laki untuk menjaga seorang wanita di dalam bepergian menjadi sangat urgent baik dari sisi agama, sosial dan budaya agar selamat dari gangguan orang lain, binatang buas, atau pada konteks kita sekarang adalah para preman yang melakukan kejahatan atas tuntutan kehidupan lahiriyah maupun batiniyah.
Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang yang dapat membantu menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu. Berpamitan dan saling mendo’akan merupakan salah satu adab dalam bepergian yang diajarkan Islam. “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berpamitan kepada kami (sebelum safar) kemudian membaca doa: astaudi’ullah diinaka wa amaanataka wa khowaatima amalika (aku titipkan kepada Allah, agamamu, amanatmu, dan penutup amalanmu)” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi) Dan orang yang ditinggalkan membaca doa sebagaimana yang ada dalam hadis ini: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika memberi pesan kepergian kepada seseorang, beliau mengucapkan: zawwadakallahut taqwaa wa ghafara laka zambaka wa yassara lakal khayra min haitsumaa kunta (semoga Allah memberimu bekal taqwa, dan mengampuni dosamu, dan memudahkan kebaikan untukmu dimanapun berada)” (HR. At Tirmidzi). Wallahul muwafiq