MEMPERTIMBANGKAN 'MASHLAHAH SYAR`IYYAH' SEBAGAI LANDASAN SIYASAH
IQTISHADIYAH DALAM ISLAM
Oleh:
Ahmad Djalaluddin
Latar Belakang
Al
iqtishad al islami atau ekonomi Islam, sesuai dengan namanya memiliki watak `al
qashdu` yakni moderasi. Al qasdu artinya bukan setengah-setengah, tetapi
bermakna keseimbangan, proporsional, adil, tidak ekstrim. Ekonomi Islam adalah
ekonomi yang melangit (samawi) dan membumi (tathbiqi) sekaligus, sebagaimana
Islam yang merupakan ajaran langit bersifat normatif-idealistik. Tetapi dengan
missi utama ”rahmatan lil’alamin” (menebar rahmat untuk semesta alam), ia tegak dan leading di atas muka bumi. Dengan
wataknya yang membumi al iqtishad al islamy merupakan ekonomi empirik yang
sangat aplikatif dan ekonomi terapan yang dinamis. Dengan bekalan pengalaman
serta khazanah masa lalu, ekonomi Islami mempunyai tugas mengelola masa
sekarang ini dan mengukir masa depan yang lebih baik.
Kemembumian Ekonomi Islami
semata-mata karena watak dari syari’ah itu sendiri yang merupakan ”tanzilun min hakimin hamid” (41:42) ajaran Allah yang Maha Bijak
serta Terpuji yang untuk dibumikan. Untuk itu maka syari’ah mewajibkan ijtihad
mengerahkan segala potensi khususnya akal fikiran. Kebutuhan terhadap ijtihad
dalam merumuskan ahkam syar’iyah yang aplikatif di bidang mu’amalah terasa
semakin besar. Lebih-lebih pada aspek
mu’amalah yang kontemporer seperti bidang ekonomi. Karena itu ijtihad ekonomi
syari’ah menjadi aspek yang organik dari bangunan Ilmu Ekonomi Islami yang
tengah ditata dan dimekarkan. Tanpa ijtihad kontemporer, menjadi sulit kalau
bukan mustahil untuk menerapkan ekonomi secara Islami dalam kehidupan moderen.([1])
Bidang
muamalah dalam Islam berbeda dengan ibadah murni. Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbud)
maka sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Bahkan ijtihad dalam ibadah boleh
dikata tertutup. Lain halnya dengan muamalah yang cukup terbuka bagi inovasi
dan kreasi baru dalam membangun ekonomi umat. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan
ekonomi yang oleh Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al
tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Bahwa terkait dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi, sedikit yang disinggung oleh nash, dengan demikian
peluan untuk mengembangkan ijtihad terbuka lebar.
Al
mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad patut untuk
dipertimbangkan dalam ijtihad-ijtihad bidang siyasah iqtishadiyah
(kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat
melalui hukum-hukumnya. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan
syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan
ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan basis bidang
mu’amalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit
motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi
konvensional.
Negara
dalam Islam adalah sarana (alat) bukan tujuan. Yaitu alat yang dipergunakan
untuk melakukan upaya-upaya yang tidak mungkin dilakukan oleh individu, dan
untuk merealisasikan tujuan-tujuan syara` yang berkenaan dengan
kehidupan publik. Tujuan utama sebuah negara dalam pandangan Islam adalah tahqiqu
al mashlahah al syar`iyyah (merealisasikan kemashlahatan yang syar`i)([2]). Kemashlahatan syara`
yang dicitakan oleh sebuah negara adalah kemashlahatan agama dan kemashlahatan dunia yang keduanya demi
kesejehateraan manusia atau rakyat.([3])
Menarik apa yang disampaikan oleh Ibnu al Qayyim
mengutip pendapat Ibnu Aqil, bahwa kebijakan (politik) adalah suatu aktifitas
yang mendekatkan masyarakat pada kebaikan (shalah) dan menjauhkan mereka dari
kerusakan (fasad), sekalipun aktifitas itu tidak dicontohkan oleh Nabi saw dan tidak
diatur dalam wahyu.([4])
Konsepsi Mashlahah dalam Islam
Mashlahah berasal dari bahasa Arab anonim kata mafsadah
(kerusakan), berarti kebaikan dan kemanfaatan. Sebagaimana kata al
shalah –satu akar kata dengan mashlahah- berarti baik dan manfaat.([5])
Ketika disebut mashlahah, para ulama sepakat bahwa yang
dimaksud adalah kemashlahatan di dunia dan akhirat, karena sesungguhnya
keberadaan hukum syara` dimaksudkan untuk menciptakan kebaikan dan kemanfaatan itu,
baik di dunia maupun akhirat.([6])
Menurut Imam Al Ghazali, mashlahah adalah istilah bagi
upaya untuk menciptakan kebaikan dan menghindari kemudharatan.([7]) Selaras
dengan definisi adalah yang disampaikan oleh Imam al Syaukani, bahwa mashlahah adalah
memelihara dan melestarikan kehendak Allah dengan menghindari segala hal yang
membahayakan kehidupan manusia.([8]) Baik Al Ghazali maupun al Syaukani menghendaki
bahwa esensi mashlahah adalah kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh
Allah untuk hamba-Nya, bukan kebaikan dan kemanfaatn yang dikehendaki oleh manusia
untuk dirinya. Karena manfaat dalam pandangan manusia belum tentu baik menurut
Allah Swt. Dan cara untuk mewujudkan mashlahah yang dikehendaki oleh Allah
untuk hamba-hamba-Nya adalah dengan jalan memelihara al ushul al khamsah
(lima tujuan pokok syariat) yang meliputi agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
Maka setiap upaya dan kebijakan yang ternyata mampu melestarikan ke lima hal
tersebut adalah mashlahah, dan sebaliknya bila ternyata merusak ke lima tujuan
syariat itu adalah mafsadah.([9])
Bahwa landasan bangunan
syariah adalah keadilan dan kemashlahatan untuk hamba, dunia dan akhirat. Keseluruhan
hukum-hukum syara` adalah adil, rahmat, mashlahah, dan hikmah. Keseluruhan
hukum-hukum terikat oleh mashlahah, karena tujuan yang dicitakan oleh
hukum-hukum itu adalah menciptakan kemanfaatan dan menghindari kemudharatan. Bahkan
ketika Rasulullah saw melarang sesuatu maka demi kemashlahatan, dan ketika
membolehkan sesuatu itu karena perubahan situasi dan kondisi, juga karena
mashlahah menghendaki demikian. Tujuan syariah adalah mashlahah, dan cara untuk
mewujudkan mashlahah ketika tidak dijumpai dalil Al Quran atau Sunnah adalah
ijtihadu al ra`yi (ijtihad dengan akal).([10])
Kemashlahatan yang telah dijelmakan ke dalam
hukum-hukum untuk mendukung terrealisirnya kemashlahatan itu dan dalam
fungsinya sebagai illat hukum, oleh para ahli ushul disebut mashlahah
mu`tabarah. Yaitu mashlahah yang oleh syariat diakui keberadaannya. Bahwa
keseluruhan hukum-hukum syara` yang tertuang dalam Al Quran maupun Sunnah,
dalam rangka melestarikan lima tujuan pokok syariah: agama, jiwa, keterununan,
akal, dan harta, adalah mashlahah yang pasti mendatangkan manfaat bagi
kehidupan. Sementara segala kebijakan atau hukum yang diputuskan yang menyalahi
kemashlahatan yang telah diakui oleh syariat maka bukan dianggap sebagai
mashlahah, yang oleh para ahli ushul fiqih disebut dengan mashlahah mulghah (kemashlahatan
yang tidak diakui).
Disyariatkannya
zakat bagi orang-orang yang mampu untuk diberikan kepada yang berhak adalah
mashlahah. Diharamkannya riba dan pencurian adalah mashlahah, untuk menjamin
hak milik individu dan kelompok. Sementara hukum-hukum dan kebijakan yang
berlawanan dengan kewajiban zakat, yang berlawanan dengan haramnya riba, yang
berlawanan dengan haramnya pencurian bukanlah mashlahah yang dikehendaki oleh
syariat.
Ada jenis ketiga dari
mashlahah yang juga menjadi kajian penting para ahli ushul yang diistilahkan
dengan mashlahah mursalah. Mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahatan
yang tidak ditetapkan oleh syara` suatu hukum tertentu untuk mewujudkannya dan
tidak pula terdapat suatu dalil syara` yang memerintahkannya atau
mengabaikannya.([11])
Misalnya, mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi dari suatu negara,
mewajibkan kepada warga negara yang mampu untuk turut serta memikul beban
pembangunan ketika keuangan negara tidak mencukupi, memproduksi segala
kebutuhan masyarakat, yang oleh syariat tidak terdapat nash yang
menganjurkannya untuk memperhatikan atau mengabaikan.
Ramadhan Buthy dalam
Dlawabith al Mashlahah mendefinisikan mashlahah mursalah dengan segala manfaat
yang masuk dalam kategori kemashlahatan syara` (agama, jiwa, keturunan, akal,
harta) yang tidak diperhatikan atau diabaikan oleh syariat.([12])
Mayoritas ahli ushul fiqih menetapkan bahwa mashlahah
mursalah adalah sebagai dalil syara` yang dapat digunakan untuk menetapkan
suatu hukum. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Kemashlahatan manusia terus berkembang mengikuti perkembangan hidup
manusia. Seandainya kemashlahatan yang berkembang itu tidak direspon, hanya
kemashlahatan yang ada nashnya saja yang diperhatikan, niscaya banyak terjadi
kekososngan hukum dan syariat sendiri tidak mampu merespon dinamika
kemashlahatan manusia. Padahal tujuan syariat adalah li mashlahati al `ibad,
mewujudkan kemashlahatan manusia di setiap tempat dan setiap masa.
2. Hukum-hukum ijtihadi (produk ijtihad ulama), baik dari kalangan
shahabat, tabi`in dan imam-imam mujtahidin adalah demi mewujudkan kemashlahtan
umat.([13])
Untuk menjadikan mashlahah
sebagai hujjah (dalil) para ulama meletakkan beberapa syarat sebagai berikut:
1. Mashlahat tersebut haruslah mashlahah
yang hakiki (sejati), bukan yang didasarkan pada wahm (asumsi). Artinya
bahwa membangun hukum berdasarkan mashlahat itu haruslah benar-benar dapat
membawa kemanfaatan dan menghindari kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya
sekedar berdasarkan perkiraan akan adanya kemanfaatan dengan tidak
mempertimbangkan kemudharatan yang bakal timbul, maka bangunan hukum yang
semacam itu adalah berdasarkan perkiraan dan asumsi saja.
2. Kemashlahatan itu hendaklah
kemashlahatan yang umum, bukan kemashlahatan yang khusus untuk perorangan. Karena
itu harus dapat dimanfaatkan orang banyak atau dapat menolak kemudharatan yang
menimpa kepada orang banyak
3. Kemashlahatan itu tidak bertentangan
dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash dan ijma`, tidak
bertentangan dengan maqashid syariah, tapi kemashlahatan umum yang memang
dikehendaki oleh syara`.
4. Kemashlahatan itu logis, sehingga bila
diajukan kepada mereka yang berakal sehat, ereka bisa menerimanya
5. Kemashlahatan itu turut menjaga dan
mengembangkan dlaruriyyat (primer) bagi kehidupan dan bisa menghindarkan
manusia dan kesempitan dalam beraktifitas.([14])
Istishlah
Dalam kajian mashlahah, bisanya para ahli ushul
mendiskusikan tema ini dalam tiga topik: pertama, mashlahah sebagai
prinsip hukum-hukum syara`; kedua, mashlahah sebagai prinsip dalam
menafsirkan nushush (teks-teks dalil); dan ketiga, mashlahah sebagai
dalil yang mandiri ketika tidak dijumpai dalil yang menunjukkan hukum suatu
kasus.
- Mashlahah sebagai
prinsip hukum-hukum syara`
Para ulama sepakat bahwa
hukum-hukum syariat Islam dibangun atas dasar hikmah, tujuan, dan manfaat bagi
manusia, baik untuk kehidupan di dunia maupun akhirat. Adakalanya hikmah dan
tujuan itu dengan jelas disebutkan oleh suatu dalil ketika dalil itu memberitakan
suatu hukum, atau ketika suatu dalil tidak menyebutkan hikmah dan tujuan maka hikmah
dan tujuan itu diketahui melalui ijtihad ulama. Tidak mungkin hukum yang ditetapkan
oleh Allah bermaksud merusak manusia, sebagaimana tidak mungkin hukum-hukum
syariat ditetapkan dengan tanpa maksud atau hikmah apapun.([15]) Bahkan Imam al Amidi secara tegas menyatakan adanya
ijma` (consensus) ulama bahwa hukum-hukum syara` mengandung illat (alasan)
berupa meraih kemashlahatan dan menolak kemudharatan. Sekalipun dijumpai
perbedaan apakah hikmah atau maksud itu statusnya wajib ada, sebagaimana
pendapat mu`tazilah, atau mesti ada meskipun tidak sampai mewajibkan,
sebagaimana pendapat ahlussunnah.([16])
2. Mashlahah sebagai dasar
dalam penafsiran nash
Berdasar pada watak syariah
yang ditetapkan demi meraih kemashlahatan dan menolak kemudharatan, maka ketika
dijumpai dalil-dalai syara` yang membutuhkan penjelasan atau penafsiran, maka
dalil-dalil Al Quran atau Sunnah itu ditafsirkan atau diperjelas wilayah
aplikasinya berdasar mashlahah yang ingin diciptakan oleh dalil tersebut atau
hikmah yang ingin diwujudkan. Husein Hamid Hasan menjelaskan bahwa kadang
dijumpai sebuah dalil yang berbicara tentang hukum suatu kasus tanpa
menjelaskan mashlahah apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Dalam situasi
seperti ini seorang faqih mendapati bahwa untuk memahami dalil, menentukan
substansinya, atau menetapkan ruang lingkup aplikasinya ternyata bergantung
pada pengetahuan akan mashlahah yang dikehendaki. Maka upaya awal yang
dilakukan seorang faqih sebelum menentukan hukum yang dikandung oleh dalil itu
adalah berijtihad untuk menemukaan mashlahah, illat, atau hikmah dibalik dalil.
Yaitu dilakukan dengan memperhatikan kecenderungan dan kebiasaan syara` dalam
menetapkan hukum-hukumnya, dengan menggunaakan pendekatan spirit dan illat
syariah yang ternash, atau kaidah-kaidah yang dihasilkan melalui istinbath
(penggalian dari nash). Ketika dijumpai hikmah maka ditemukanlah maksud yang
dikehendaki oleh dalil itu dan selanjutnya dilakukan proses penafsiran dalil
berdasar mashlahah.([17])
Legalitas metode ini
didasarkan pada ijma` atau konsesus ulama yang menyatakan bahwa syariat
diciptakan demi kemashlahatan hamba. Contoh penafsiran ini cukup banyak,
diantaranya yang dilakukan oleh Ibnu al Qayyim ketika memberi tafsiran atas
hadits tentang enggannya Nabi Saw melakukan tas`ir.([18])
3. Mashlahah sebagai sumber hukum ketika tidak dijumpai
nash
Ulama sepakat bahwa untuk kegiatan yang murni ritual
ibadah maka cukup dengan merujuk kepada dalil atau nash, sebagaimana tidak
berlaku qiyas dalam ibadah dan tidak tepat menggunakan mashlahah mursalah
sebagai landasan ibadah. Karena membuka pintu ibadah bagi mashlahah mursalah
akan menjebak pada praktek bid`ah atau merubah syi`ar-syi`ar agama.([19]) Bahwa sesunggunya syara` tidak memperkenankan
pendapat (akal) hamba untuk memasuki area ibadah (murni), cukuplah untuk tunduk
pada apa yang menjadi ketetapan nash, maka
segala bentuk tambahan dalam ibadah adalah bid`ah sebagaimana
pengurangan dalam ibadah juga merupakan bid`ah. Demikian kata Al Syatibi.([20]) Maka dirumuskanlah
sebuah kaidah dalam ibadah, bahwa secara prinsip ibadah bersifat ta`abbudi
(dogmatik), tanpa memperhatikan makna yang dikandungnya.([21])
Adapun dalam bidang mu`amalah yang mengatur hubungan
antara sesama manusia maka pada prinsipnya adalah mempertimbangkan maqashid,
hikmah, dan illat.([22])
Imam al Syatibi memberikan
beberapa alasan terkait dengan kaidah ini:([23])
1. Bahwa syara` berkehendak untuk
menciptakan kemashlahatan hamba, dan hukum-hukum mu`amalat dibangun berdasarkan
mashlahah itu. Karena itu bisa jadi suatu jenis muamalah dilarang ketika tidak
dijumpai adanya mashlahah dan diperbolehkan ketika dijumpai mashlahah. Semisal
satu dirham dengan satu dirham, tidak diperbolehkan dalam akad jual beli
(sharf) yang tidak tunai, sementara diperbolehkan dalam akad hutang piutang.
2. Bahwa syara` cenderung memperluas
penjelasan illat dan hikmah dalam hukum-hukum muamalah, tidak seperti yang
terjadi pada hukum ibadah yang cenderung dogmatis, mencukupkan diri pada nash. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa bidang muamalah syara` menghendaki mempertimbangkan
illat dan hikmah.
3. Sebelum diutusnya rasul maka hubungan
sosial dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemashlahatan masyarakat, walaupun
masih sederhana. Ketika Islam datang sebagian dari praktek muamalah ini diakui
dan diadopsi oleh Islam, seperti diyat, qasamah, dan qiradl (mudharabah)
yang oleh masyarakat jahiliyah dianggap baik.
Dari sini diketahui bahwa
pintu muamalah terbuka bagi penerapan mashlahah mursalah, dan sangat
dimungkinkan membangun hukum-hukum muamalah, khususnya muamalah ekonomi,
berdasarkan mashlahah, baik dalam bentuk penafsiran dalil-dalil hukum muamalah
maupun merumuskan hukum baru yang tidak disebutkan oleh nash. Walaupun ada
pengecualian beberapa hukum muamalah yang tidak didasarkan pada mashlahah,
tetapi mengikuti ketentuan nash. Seperti al muqaddarat (hitungan dan
bilangan), hukum hudud, kafarat, pembagian waris, dan iddah bagi istri-istri
yang ditalak atau ditinggal mati suami.([24]) Imam Zarkasyi
sebagaimana dikutip oleh Ramadhan Buthy menyatakan bahwa umumnya mashlahah mursalah
selalu dikaitkan dengan madzhab Malikiyah, padahal tidak demikian, justru
seluruh madzhab menggunakan munasabah yang tidak lain adalah mashlahah.([25])
Hubungan Antara Mashlahah dengan Kebijakan
Ekonomi Islam
Hubungan antara mashlahah
dengan ekonomi Islam dapat dicermati melalui karekteristik utama ekonomi Islam.
Ekonomi Islam, menurut Syauqi al Fanjari, memiliki tiga karakteristik utama,
yang membedakannya dengan sistem-sistem ekonomi lainnya, yaitu gabungan antara
karakter tsabitah (konstan) dan tathawwur (dinamis dan elastis);
kemashlahatan individu dan kemashlahatan umum; dan kemashlahatan materi dan
immateri.([26])
Bahwa ekonomi Islam bersifat statis, tidak berubah,
dilihat dari ushul (prinsip) atau marja` (referensinya) yaitu nushus
diniyah (teks-teks agama), Al Quran dan Sunnah. Keduanya merupakan sumber utama ekonomi Islam yang
tidak pernah berubah.
Sebagai contoh ayat-ayat Al
Quran yang menjadi dasar dan prinsip bagi ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
"Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil..." (Al Baqarah (2): 188)
"Supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (Al Hasyr (59): 7)
"Dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu."
(Al
Nur (24): 33)
Adapun
contoh-contoh prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam Sunnah adalah sebagai
berikut:
"Masyarakat
berserikat dalam tiga hal: air, api, dan padang." (HR.
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah)
"Barangsiapa
memiliki kelebihan bekal, hendaknya menanggung saudaranya yang tidak memiliki
bekal." (HR. Muslim)
Meskipun
dalam hal prinsip, ekonomi Islam sangat menjaga karakter tsabitahnya, namun dalam
hal paraktek dan aplikasi dari prinsip tadi cenderung elastis dan dinamis. Hal
ini sesui dengan karakter muamalah dalam Islam yang mempertimbangkan illat,
hikmah, dan maksud. Bahwa bisa saja terjadi perubahan hukum dikarenakan oleh
perbedaan illat, hikmah, dan maksud tersebut selama tidak bertentangan dengan
dalil atau nash yang qath`i, baik eksistensinya maupun dilalah (penunjukkan
maknanya).
Karena itulah kebijakan
ekonomi Islam tidak terikat oleh periode tertentu dari sejarahnya.([27]) Dari sinilah muncul
kaidah yang ditulis oleh Ibnu al Qayyim, perbedaan (penerapan) hukum oleh
perbedaan tempat dan waktu.([28]) Kebijakan-kebijakan
ekonomi, oleh Muhammad Bagir Shadr, adalah salah satu manthiqah al firagh al
tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Bahwa terkait dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi, sedikit yang disinggung oleh nash, apalagi praktek
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam rangka mengisi ruang kosong itu dalam
kapasitas beliau sebagai waliy al amri yang tergantung pada dinamika
situasi dan kondisi. Karena itulah dijumpai beberapa perbedaan kebijakan
ekonomi antara masa tasyri` (ketika Nabi saw masih hidup), dengan masa-masa
sahabat-sahabat Nabi saw, dan perbedaan yang terjadi oleh hasil ijtihad ulama
dalam memahami dalil-dalil yang menjadi kebijakan ekonomi masa Nabi saw.
Berikut contoh-contoh
penerapan mashlahah dalam kebijakan-kebijakan ekonomi:
a.
Hadits
tentang Tas`ir
عن
أنس بن مالك رضي الله عنه قال: غلا السعر
على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم،
فقالوا: يا رسول الله سعر لنا ! فقال: إن الله هو المسعر القابض الباسط الرزاق
وإني لأرجو أن ألقى ربي وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم ولا مال.
Dari Anas bin Malik
radliyallahu `anhu beliau berkata: Harga-harga melambung tinggi pada masa Nabi
saw. Para sahabat meminta Nabi saw: Wahai Rasulullah, tolong lakukanlah tas`ir
untuk kami!. Rasulullah menjawab: "Sesungguhnya Allah-lah penentu
harga, penahan dan pembentang rizki, dan sesungguhnya aku berharap kelak
berjumpa dengan Tuhanku sementara diantara kalian tidak ada yang menuntutku
karena kedlaliman yang aku lakukan pada darah dan harta.([29])
Meskipun secara teks dapat dipahami dengan sangat jelas
bahwa Nabi saw menolak mengeluarkan kebijakan intervensi harga, tetap muncul perbedaan
pendapat boleh atau tidaknya intervensi pasar oleh pemerintah, khususnya
tas`ir. Baik yang menolak tas`ir atau yang menyetujui adanya tas`ir ternyata
masing-masing mempertimbangkan mashlahah dalam memahami hadits di atas. Bagi
mereka tujuan utama yang dikehendaki oleh hadits ini adalah hifdzu al
mashlahah al `ammah wa al khasshah (melestarikan kemashlahatan umum dan
khusus).
- Pihak yang menolak tas`ir, ternyata membolehkan tas`ir ketika kondisi darurat menuntut demikian. Ibnu Taimiyah mengutip pendapat ulama madzhab Hanafi yang pada mulanya menolak ternyata menyatakan, "Apabila para pedagang makanan itu menaikkan harga hingga menyulitkan masyarakat, dan tidak ada jalan lain bagi hakim untuk menangani kasus itu kecuali dengan tas`ir, maka dilakukanlah tas`ir melalui musyawarah yang melibatkan para ahli."([30])
- Bagi pihak yang membolehkan tas`ir, mereka tidak menolak hukum pasar tentang permintaan dan penawaran, bahkan menegaskan pentingnya mekanisme ekonomi pasar berjalan secara natural. Menurut Ibnu Taimiyah hadits ini tidaklah menunjukkan penolakan intervensi Nabi (pemimpin Negara) secara mutlak. Karena hadits ini menjelaskan kasus lokal terkait dengan peristiwa tertentu, bukan lafadl umum. Bahwa pasar ketika itu berjalan normal, tingginya harga tidak ada kaitannya dengan distorsi pasar, karena itulah Nabi saw. menolak intervensi harga.([31])
Ibnu Taimiyah dan Ibnu al
Qayyim membuat kesimpulan menarik terkait penafsiran hadits di atas yang
didasarkan pada mashlahah. Beliau mengatakan bahwa tas`ir adakalanya dhalim dengan
demikian terlarang, dan bisa jadi adil maka diperbolehkan. Apabila dalam
kebijakan tas`ir ada unsur kedhaliman yang menimpa para pedagang dan konsumen maka
terlarang, sementara bila ternyata ada unsur keadilan bagi semua pihak maka
diperbolehkan. Beliau memberi contoh, seandainya para pedagang menaikkan harga
barang karena minimnya persediaan dan banyaknya permintaan, maka memaksa mereka
dengan menetapkan harga tertentu adalah kedhaliman yang terlarang. Penegasan
ini dismapaikan oleh Ibnu Taimiyah seolah merupakan aplikasi teori pasar:
penawaran dan permintaan. “Apabila seorang pedagang menjual barang dengan harga
yang wajar tanpa ada unsur kedlaliman, dan ternyata harga menjadi naik oleh
sebab sedikitnya barang (penawaran) atau banyaknya permintaan, maka
diserahkanlah kepada Allah swt., mengharuskan pedagang menjual dengan harga
pokok adalah kedlaliman." ([32])
Penolakan Nabi saw melakukan tas`ir
merupakan kebijakan yang beliau ambil dalam kapasitasnya sebagai waliyu al
amri yang bertanggungjawab atas kemashlahatan rakyat. Bukan merupakan hukum
syar`i yang berlaku umum, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh situasi dan
kondisinya. Demikianlah bahwa pihak-pihak yang membolehkan adanya intervensi
negara mengharuskan untuk menguji kemashlahatan bersama. Pemerintah tidak
diperkenankan mengeluarkan kebijakan yang merugikan salah satu pihak; penjual atau
pembeli (konsumen).([33]) Karena itulah Ibnu
Taimiyah sebagaimana disebutkan di atas membagi intervensi itu dalam dua
kategori:
- Kondisi dimana tingginya harga disebabkan oleh hukum pasar dan berlaku natural, maka terlarang adanya intervensi
- Kondisi dimana terjadi distorsi pasar, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok, maka intervensi diharuskan.
Selanjutnya Syaikhu al Islam
menjelaskan bentuk-bentuk kondisi-kondisi yang membolehkan adanya intervensi
demi kemashlahatan masyarakat secara luas.
- Barang yang diperjual-belikan merupakan kebutuhan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak.([34])
- Terjadinya ihtikar (rekayasa dalam supply hingga berakibat kelangkaan barang dengan demikian harga menjadi tinggi) yang dilakukan oleh produsen atau pedagang.([35])
- Monopoli. Pelanggaran ini hampir sama dengan ihtikar, hanya saja letak perbedaannya adalah bahwa boleh saja negara memberikan kepercayaan kepada individu atau kelompok tertentu untuk memproduksi atau melakukan distribusi barang tertentu. Tapi negara mesti mengiringi izinnya itu dengan mematok harga standar guna menghindari eksploitasi terhadap konsumen.([36])
- Terjadinya kolusi antara pihak-pihak tertentu baik kolusi dalam hal kesepakatan untuk tidak menjual kecuali dengan harga yang disepakati oleh para produsen, atau kolusi yang dilakukan oleh para pembeli untuk tidak membeli kecuali dengan harga yang telah disepakati diantara mereka.([37])
b. Kebijakan Taudhif
Pada prinsipnya, jika seorang
muslim telah menunaikan kewajiban hartanya (zakat), maka tidak diperbolehkan
lagi untuk memungut hartanya. Tidak ada dua kewajiban pada satu tempat (pos).
Prinsip ini didasarkan pada hal-hal berikut:
1. Tidak dijumpai dalam riwayat-riwayat
hadits bahwa Rasulullah saw. mewajibkan jibayat, pajak, cukai, pada rakyat
Madinah, meskipun dia sebagai kepala negara memiliki hak intervensi ekonomi. Bahkan
saat baru mendirikan pasar Nabi akhir zaman itu menyampaikan kebijakannya,
"Inilah sebaik-baik pasar yang kalin miliki, maka janganlah membebankan
kaharaj (pajak) atasnya."([38])
2. Tidak disebutkan dalam sirah nabawiyah tentang kewajiban harta
lain selain zakat yang diwajibkan tahun ke-2 hijriyah. Meskipun diterangkan bahwa ada faktor-faktor yang
sesungguhnya bisa menjadi alasan pembebanan kewajiban non zakat. Misalnya untuk
kebutuhan masyarakat yang kelaparan ketika itu, seperti Nabi selama tiga hari
tidak makan atau ada sahabat yang jatuh tersengkur karena menanggung lapar.
3. Meskipun ayat-ayat Al Quran atau Hadits
yang mendorong untuk infaq dan sedekah kepada fuqara dan yang membutuhkan
sangat banyak, tapi dalil-dalil tersebut tidak mengubah status dorongan tathawwu`i
(bersifat sukarela) menjadi ilzam (kewajiban yang mengikat). Padahal
Nabi saw. sangat memahami bahwa dinasti-dinasti sekitar telah menerapkan pajak
dengan berbagai macam bentuk.([39])
4. Dijumpai riwayat-riwayat yang mencela kebijakan menarik upeti
(pajak). Abu Ubaid menulis beberapa riwayat itu, diantaranya:([40])
"Tidak masuk surga shahibu
al maks (penarik upeti)"
"Sesungguhnaya shahibu
al maks (penarik upeti) di neraka."
"Apabila
anda menjumpai `asyiran (penarik pajak) maka bunuhlah."
Abu Yusuf berpendapat bahwa
pemimpin (negara) tidak diperkenankan mengambil hak milik orang lain
(rakyatnya) tanpa hak yang jelas dan berdasar."([41])
Disamping dalil-dalil yang
secara spesifik melarang pungutan ganda di atas, ternyata dijumpai dalil-dalil
lain yang bersifat umum yang mengesankan diperbolehkannya pungutan ganda atas
harta orang-orang kaya.
1. Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
bahwa Raasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah mewajibkan atas harta
orang-orang kaya apa yang mencukupi kebutuhan fiqara`, sungguh tidaklah mereka
dalam kekurangan kecuali dikarenakan oleh prilaku orang-orang kaya diantara
mereka, dan Allah sungguh akan menghisab mereka dengan ketat dan mengadzab
dengan siksa yang pedih."([42])
2. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya dalam harta terdapat
kewajiban (lain) selain zakat."([43])
Taudhif adalah kewajiban
tambahan yang dibebankan oleh negara kepada rakyat yang mampu guna menutupi
devisit anggaran. Secara berurutan belanja negara untuk keperluan-keperluan
emergensi ditutupi melalui baitul maal zakat, baitu maal al mashalih,
baru kemudian al taudhif.([44]) Dalam al Ghiyatsi, Imam al Juwaini berpendapat
bahwa boleh saja negara menarik pajak dari rakyat, bila dirasa perlu untuk hal
itu.([45]) Demikian juga dengan al
Ghazali, bahwa apabila anggaran belanja Negara tidak mencukupi untuk membiayai
keamanan, sementara dikhawatirkan stabilitas negeri terancam maka diperbolehkan
bagi pemimpin untuk melibatkan orang-orang kaya menutupi kebutuhan itu.([46])
Nampak pada pendapat-pendapat
di atas aspek mashlahah menjadi pertimbangan. Bahwa kebijakan tersebut bukan
dimaksudkan untuk memberatkan orang-orang kaya, akan tetapi sebagai upaya
membangun partisipasi mereka dalam menanggung beban negara dalam rangka
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bila pembebanan pajak berakibat
dlarar (merugikan) bagi orang kaya, maka tidak adanya pajak akan
menimbulkan dlarar atau kerugian yang lebih besar terhadap negara. Maka Imam
Syathiby berpendapat bila dihadapkan dua pilihan yanag sulit itu maka solusinya
adalah mengorbankan kemashlahatan individu (orang-orang kaya) demi terciptanya
kemashlahatan yang lebih luas yaitu negara.([47]) Demikian juga yang
diikuti oleh Majallah al Ahkam al `Adliyah yang menetapkan kaidah hukum,
"Dimungkinkan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan umum, dan
dimungkinkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan
kepentingan yang lebih kecil."([48])
Taudhif dalam sistem ekonomi Islam bukanlah sumber
pendapatan permanen, bersifat exception (pengecualian) ketika negara menghadapi
kondisi-kondisi darurat. Taudhif diadakan dalam rangka menciptakan kemashlahatan
bersama, negara maupun orang-orang kaya yang terbebani kewajiban itu. Demi
terjaminnya penciptaan mashlahah itu para ulama telah meletakkan dhawabith
dalam penerapannya, yaitu:
1.
Hendaknya
dana taudhif dialokasikan untuk pembiayaan pos-pos yang dlarurah (sangat
urgen), yang benar-benar menciptakan mashlahah (maqashid syariah).
2.
Hendaknya
beban taudhif tidak melebihi batas kemampuan (memberatkan) yang berkewajiban
membayar.
3.
Penggunaan
dana taudhif dilakukan dengan amanah dan diperuntukkan untuk pos yang menjadi
sebab adanya penarikan taudhif.([49])
c. Di awal kedatangannya di
Madinah Nabi saw menetapkan kebijakan larangan menyewakan tanah. Rasul terakhir
itu bersabda: “Barangsiapa memiliki lahan pertanian hendaknya menanaminya atau
memberikannya kepada saudaranya (muhajirin), dan tidak menyewakannya.” Pada
masa itu kekayaan masyarakat berada dalam penguasaan kaum Anshar, bahkan ada
yang memiliki lahan melebihi kebutuhannya hingga tidak mampu mengelola secara
keseluruhan. Nabi melihat bahwa mashlahah menghendaki larangan bagi pemilik
lahan lebih untuk menyewakannya kepada orang lain, utamanya kaum muhajirin yang
memang tidak memiliki kekayaan. Nabi menginginkan kelebihan lahan itu diberikan
kepada kaum muhajirin untuk dikelola sebagai ladang rizki bagi mereka tanpa
dibebani biaya sewa tanah. Setelah kondisi berubah dimana kaum muhajirin mulai
mapan secara materi, Nabi memperbolehkan menyewakan tanah, sebagaimana yang
telah berlangsung sebelum kedatangan Nabi ke Madinah.([50])
d. Hadits tentang Talaqqi Rukban
Al rukban adalah para pemasok
barang (pedagang). Yang dimaksud dengan talaqqi al ruqban adalah menghadang para
pedagang di perjalanan sebelum masuk pasar serta membeli barang dagangan yang
dibawa. Dengan demikian barang tidak sampai di pasar dan tidaklah berlaku hukum
penawaran dan permintaan, sebagai mekanisme natural penentu harga. Dalam Ushul
fiqih dikenal kaidah al nahyu yaqtadli al fasada, bahwa larangan menghendaki
rusaknya (transaksai). Akan tetapi bila terjadi transaksi jual beli sebelum
barang itu sampai pasar, apakah hukumnya?
Ulama berbeda pendapat yang
dilatari oleh mashlahah apa yang dikehendaki oleh hadits di atas?
Pendapat pertama, bahwa
mashlahah yang ingin dilindungi oleh larangan itu adalah kemashlahatan yang
kembali kepada pedagang. Sebab bila mereka menjual barang yangdibawa sebelum
memasuki pasar, berarti ia akan menjual dagangannya dengan harga relatif lebih
murah atau dibawah standar karena ia belum mengetahui harga pasar yang
sesunguhnya. Maka hukum transaksi jual beli tidaklah batal, tapi tetap sah
hanya saja penjual memiliki hak khiyar (hak untuk meneruskan atau membatalkan
transaksi). Bila ternyata saat ia sampai di pasar mengetahui harga yang
sesungguhnya dan ternyata lebih tinggi dari transaksi yang terlah terjadi maka
ia dipersilahkan memilih apakah meneruskan jual belinya atau membatalkan akad
yang telah terjadi.
Pendapat kedua, bahwa
kemashlahatan yang dikehendaki oleh hadits di atas adalah kemashlahatan para
konsumen. Karena biasanya tengkulak membeli barang dari pemasok dengan harga
miring, kemudian menimbunnya hingga baran tersebut menjadi tinggi harganya.
Maka talaqqi rukban hukumnya batal alias tidak sah.([51])
e. Kebijakan Abu Bakar
Memerangi Penolak Zakat
Beberapa saat setelah Rasulullah Saw wafat, dan Abu
Bakar naik menjadi khalifah, sebagian klein Arab kufur. Abu Bakar berniat
memerangi mereka. Umar berkata: “Bagiamana engkau memerangi mereka, padahal
Rasulullah Saw bersabda: “Saya diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka
bekata: `Laa ilaaha illa Allah’, barang siapa berkata demikian akan
terlindungi harta dan nyawanya, kecuali dengan hak? Abu Bakar menjawab: “Demi
Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat, karena zakat
adalah kewajiban harta, demi Allah sekiranya mereka enggan memberikan kepadaku
anak unta, padahal mereka memberikannya kepada Rasulullah Saw, akan saya
perangi.”
Umar pun berkomentar: “Demi Allah, saya melihat Allah
telah membuka hati Abu Bakar untuk mengambil keputusan memerangi mereka, maka
saya memahami bahwa itu adalah kebenaran.”
Sikap Abu Bakar ini menjadi
landasan bagi peran pemerintah dalam zakat, dimana negara diperbolehkan memberi
sanksi terhadap mereka yang melanggar kewajiban harta yang semestinya diberikan
kepada masyarakat.([52]) Kebijakan ini diambil
sebagai tanggung jawab Negara dalam merealisasikan tujuan syariah (hifdhu al
din, menjaga agama).
Kebijakan Ekonomi dan Mashlahah
Setiap sistem sosial-ekonomi,
termasuk Islam, bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dengan meraih
manfaat dan menolak mudharat. Kemashlahatan yang ingin diciptakan adakalanya cenderung
pada kepentingan individu atau cenderung pada kepentingan kelompok. Idealnya adalah
antara dua kepentingan itu dapat dijembatani, karena seringkali antara
kepentingan individu dan kepentingan kelompok terjadi tabrakan.
Sistem ekonomi Islam bukanlah
sistem kapitalis yang cenderung memanjakan individu. Bukan pula sosialis yang
mementingkan kepentingan kolektif. Tapi sistem ekonomi Islam mencoba
mempertemukan kedua kepentingan itu dalam perkawinan yang tidak merugikan bagi
keduanya. Dalam istilah Fanjari, al taufiiq baina al mashalih al
mutadlaribah, mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling
kontradiktif.([53])
Inilah keunikan yang dimiliki oleh ekonomi Islam, bahwa
ia menaruh perhatian tinggi pada penciptaan keseimbangan antara kepentingan
(mashlahah) pribadi dan kepentingan kelompok. Keseimbangan ini adalah prinsip yang tidak berubah
yang didasarkan pada dalil-dalil Al Quran dan Hadits. Misalnya, Al Baqarah 278,
“Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”, laa tadhlimuuna wa laa tudhlamuun. Surat al A`raf: 85, “Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya…”. Juga hadits yang sangat terkenal,
“Laa dlarara walaa dliraara,” janganlah merugikan (orang lain) dan
jangan dirugikan (oleh orang lain).
Meskipun
Islam memberikan kelonggaran kepada individu untuk memfaatkan segala hal yang
menjadi hak miliknya, bukan berarti melepaskan kebebasan itu secara mutlak.
Tetap ada kewajiban untuk memperhatikan hak-hak orang lain. Wahbah Zuhaili menjelaskan
bahwa pembatasan penggunaan hak dapat dilakukan apabila individu ketika
mempergunakan haknya itu melakukan hal-hal berikut: (a) dimaksudkan untuk
membahayakan orang lain; (b) dimaksudkan untuk tujuan yang tidak syar`i; (c)
menimbulkan bahaya yang lebih besar dari mashlahah (yang ingin
diciptakan); (d) penggunaan yang tidak pada tempatnya hingga membahayakan orang
lain; dan (e) penggunaan hak secara serampangan (teledor).([54])
Dalam kondisi-kondisi tertentu, ketika sulit
diketemukan kata kompromi antara dua mashlahah itu, telah disepakati bahwa
kemaslahatan individu dikorbankan demi kemashlahatan bersama yang lebih luas.([55]) Tapi penerapan kaidah ini secara
seraampangan seringkali membuahkan kedhaliman terhadap individu. Sebabnya
adalah kaburnya pengertian kepentingan umum yang diwakili oleh negara dan
kepentingan individu yang diwakili oleh rakyat kecil. Bahwa seringkali yang
terjadi adalah mengorbankan kepentingan individu (rakyat kecil) untuk
kepentingan dan kemashlahatan individu yang lain (pemilik modal). Sebagai
contoh sederhana adalah undang-undang pertanahan yang hingga kini ramai
dipersoalkan.
Ada baiknya kita melihat
kebijakan Umar dengan pendekatan mashlahah yang ternyata bertabrakan dengan
kepentingan para pejuang (mujahidin) saat pembagian harta rampasan perang. Umar
menolak pengambilalihan tanah Iaraq yang ditaklukkan oleh kaum muslimin.
Kebijakan umar adalah mempertahankan tanah tersebut agar tetap dikelolah oleh
warga setempat, meskipun menghadapi perlawanan dari para sahabat besar. Alasan
Umar adalah bila lahan pertanian itu diserahkan kepada para mujahidin akan
dikahwatirkan terbengkalainya kewajiban bela Negara dan ekspansi dakwah sebab
para mujahidin akan disibukkan oleh cocok tanam, apalagi mereka bukanlah orang
yang ahli mengelolah pertanian sehingga khawatir hasil yang diperoleh tidaka
maksimal. Justru dengan berada ditangan para pemilik asli yang ahli akan
dimungkinkan diperoleh hasil yang maksimal, dengan demikian berguna untuk kemashlahatan
jangka panjang.([56])
Daftar Pustaka
1.
Surahman Hidayat, Fatwa-fatwa Ekonomi Islam di
Indonesia, Makalah Seminar Nasional
Ekonomi Islam, 29 Nov. 04.
2.
Qadli
Abdul Jabbar, Al Mughni fi Abwabi al Tauhidi wa al `Adli, al Dar al Mishriyyah,
Kairo, t.t..
3.
Imam Mawardi, al Ahkam al
Sulthaniyah, Al Maktab al Islami, Beirut, 1416 H/1996.
4.
Ibnu al Qayyim, al Thuruq al
Hukmiyah fi Siyasah al Syar`iyyah, Dar al Madany, Jedah, t.t.
5.
Muhammad bin Abu Bakar al razy,
Mukhtar al Shihah, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1990.
6.
Imam Syathibi, Al Muwafaqat, Dar
al Kutub al Ilmiyah, Beirut, t.t.
7.
Imam al Ghazali, al Mustashfa,
Dar al kutub al Ilmiyah, Beirut, 1993.
8.
Imam
Syaukani, Irsyadula al Fuhul, Dar al Fikr, Beirut, 1992.
9.
Abdul
Wahab Khalaf, Al Siyasah al Syar`iyyah,
Matba`ah Salafiyah, Kairo, 1350 H.
10.
Raudlatu al Nadhir
11.
Ramadhan Buthy, Dlawabith al
Mashlahah
12.
Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Islam
13.
Imam
al Syathiby, Al I`tisham, Dar Ibnu Affan, Sa`udiyah, 1997.
14.
Imam al Razy, Al Mahshul,
5/238.
15.
Al
Amidy, Al Ihkam.
16.
Ali Hasbullah, Izzudiin bin
Salam
17.
Syauqi al Fanjari, Dzaatiyat al Siyasah al Iqtishadiyah al Islamiyah,
Kairo, 1413-1993.
18.
Imam Ibnu al Qayyim, Ilamu al
Muwaqqiin
19.
Al Hisbah
20.
Abu walid al Baji, Al Muntaqa Syarhu al Muwattha`,
21.
Al-Tas`ir
fi al Islam, Busyra Syubagy.
22.
HR.
Thabrani, Mu`jam al Kabir.
23.
Mundzir
al Qahf, al Siyasat al Maaliyah: dauruha wa Dlawabithuha fi al Iqtishad al
Islamy, Dar al Fikr al Mu`ashir, 1999.
24.
Abu Ubaid, Al Amwal.
25.
Abu Yusuf , Al Kharaj,
26.
Majma` al Zawaid, Bab Fardlu al
Zakat, 3/62; dalam al Amwal diriwayatkan secara mauquf,
27.
Sunan
Baihaqi al Kubra, 4/84, no. 3.
28.
Ushul al Iqtishad al Islami,
Rafiq Yunus al Mashry.
29.
Imam al Juwaini, Ghiyatsu al
Umam.
30.
Imam al ghazali, Syifa` al
Ghalil.
31.
Majallah al Ahkam al `Adliyah
32.
Yusuf Qardhawi, Fiqih Zakat.
33.
Syeikh Ali Kahafif, Al Milkiyah
al fardiyah wa Tahdiduha fi al Islam, Kitab al Majma` al Buhuts al Islamiyah I,
1964.
34.
Al Mughni wa al syarah al
kabir,
35.
Badai`u
al shanai`u
36.
Sayid
Qutb, Al `Adalah al Ijtima`iyyah.
37.
Wahbah al Zuhaily, al Fiqhu al
Islamy wa Adillatuhu.
38.
Ibnu Nujaim, Al Asybah wa al
nadhair, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut.
[14] )
Al I`tisham, 2/627-632; Abdul Wahab Khalaf, 99-100; Ilal al fasy, 146;
Pembinaan Hukum Islam, 108-109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar