Krisis global mulai unjuk gigi kepada
siapa pun yang tidak siap menghadapinya. Bank-bank besar, korporasi-korporasi
besar dengan reputasi ratusan tahun terpaksa gulung tikar. Lembaga keuangan
syariah pun mulai terkena imbasnya, khususnya yang hanya mementingkan pemenuhan
aspek formalitas syariah, tapi melupakan jiwa syariah itu sendiri. Diawali
dengan kenaikan harga minyak akibat perang berkepanjangan, yang membuat
negara-negara Teluk kebanjiran petro dolar. Melimpahnya likuiditas ini
mendorong agresivitas investasi untuk mencari keuntungan. Di sisi lain,
kesadaran akan nilai-nilai religi mendorong munculnya permintaan akan produk
investasi yang sesuai dengan syariah. Salah satu ciri produk investasi syariah
adalah adanya underlying asset untuk setiap transaksi finansial.
Nah, tingginya permintaan produk
investasi yang memiliki underlying asset ini, disambut oleh bank-bank
besar dengan merancang produk yang dikaitkan dengan komiditas tertentu, antara
lain minyak, tembaga, emas dan minyak sawit. Produk investasi yang dikenal
dengan nama commodity murabahah ini menjadi sangat populer di
kalangan perbankan syariah di luar negeri.
Bursa komoditas berjangka mendapatkan
momentum baru dengan perkembangan ini. Volume perdagangan meningkat cepat. Bila
tadinya harga minyak di bursa komoditas berjangka mengikuti harga minyak di
pasar spot karena volumenya kecil, kini harga minyak di pasar spot mengikuti
harga minyak di bursa berjangka. Keadaan ini semakin mendorong meroketnya harga
minyak.
Kenaikan harga minyak yang meroket
serta-merta membuat kawasan Teluk kebanjiran petro dolar dan melambungkan daya
beli kawasan ini. Harga-harga properti di kawasan Teluk meroket karena
ekspektasi pasar yang berlebihan seakan-akan Dubai, Qatar, dan negara-negara
kawasan Teluk lainnya akan menjelma menjadi pusat keuangan dunia menggantikan
New York dan London. Pengembangan pulau buatan manusia berbentuk pohon kurma,
Buruj al Arab sebagai bangunan tertinggi di dunia, semakin melambungkan
ekspektasi pasar akan permintaan yang tinggi terhadap sektor properti. Tak ayal
lagi harga properti di kawasan ini melambung tinggi.
Meskipun harga properti melambung
demikian tinggi, namun kenaikan harga minyak seakan telah memberikan daya beli
hampir tak terbatas. Euforia yang timbul akibat money illusion dari
kenaikan harga minyak dan naiknya harga properti, mendorong bank-bank di
kawasan ini, termasuk bank syariah, untuk mengucurkan pembiayaan di sektor
properti. Ketika pasar mengoreksi dirinya sendiri dan harga-harga komoditas,
termasuk harga minyak, turun mendekati harga wajarnya, semua pihak seakan
terbangun dari mimpi. Mereka yang berinvestasi dalam product commodity murabahah yang
tadinya merasa yakin investasinya aman karena sifatnya yang fixed return dan
dijamin oleh komoditas tertentu, kini mulai menyadari risiko yang timbul.
Dengan turunnya harga komoditas yang
dijadikan jaminan, nilai barang jaminannya tidak lagi dapat menutupi jumlah
piutang murabahah, yang selanjutnya membuat nilai investasinya dalam ukuran
nilai terkoreksi risiko (risk-adjusted return) melorot. Secara legal, tagihan
piutang murabahah-nya memang tidak menurun, namun risikonya meningkat akibat
turunnya nilai jaminan.
Bila bank syariah yang memiliki
product commodity murabahah adalah bank komersial dan mencatatnya
sebagai produk penghimpunan dana, dan ketika berinvestasi di pasar komoditas
mencatatnya sebagai aktiva produktif, penurunan nilai jaminan ini akan
menyebabkan bank tersebut harus mencatat biaya tambahan untuk memenuhi
kewajiban pembentukan cadangan aktiva produktif. Selanjutnya, laba bank
tersebut akan terpukul.
Bila bank syariah yang memiliki
product commodity murabahah adalah bank investasi dan mencatatnya
sebagai produk investasi nasabah, nasabahlah yang harus menanggung kenaikan
risikonya. Secara legal, nilai investasi nasabah tidak berkurang, namun secara
akuntansi kenaikan risiko ini terlihat pada penurunan nilai pasar investasi
dalam buku nasabah.
Penurunan harga komoditas juga
mengakibatkan koreksi atas pasar properti dengan turunnya harga properti, di
samping akan menekan kapasitas likuiditas pasar. Keadaan ini memukul bank dua
kali. Pertama, nasabah mulai kesulitan membayar cicilan pembiayaan propertinya.
Kedua, nilai jaminan berupa properti menurun sehingga menambah biaya bank untuk
membentuk cadangan aktiva produktif.
Dampak negatif inilah yang
menyebabkan bank syariah terjebak dalam formalitas mekanis ketentuan syariah.
Secara formalitas syariah, teknis operasional dan struktur produknya sesuai
dengan syariah. Namun, jiwa transaksi syariah tidak terpenuhi. Pertama, fisik
komoditas yang diperdagangkan jauh lebih sedikit dibandingkan volume
perdagangannya karena sebagian besar transaksi commodity murabahah yang
dilakukan tidak diikuti dengan penyerahan barang. Adanya underlying asset lebih
ditujukan kepada pemenuhan rukun jual beli, yaitu ma’kud alaih (adanya
objek transaksi), namun jiwa rukun tersebut yang dimaksudkan mencegah
terpisahnya (decoupling) sektor keuangan dengan sektor riil tidak terpenuhi.
Kedua, melambungnya harga properti
dan harga komoditas di luar batas kewajarannya merupakan indikasi adanya
distorsi pasar. Dari sisi permintaan distorsi ini dapat didorong oleh impulsive
buying akibat naiknya daya beli secara tiba-tiba. Dari sisi penawaran,
distorsi ini dapat didorong oleh rekayasa harga oleh beberapa pemain
konvensional besar di pasar komoditas dan di pasar properti. Kekuatan rekayasa
harga semakin besar bila harga di pasar spotmengikuti harga berjangka,
karena volume perdagangan pasar itu jauh lebih kecil daripada volume
perdagangan pasar berjangka.
Ketiga, investasi pada instrumen di
pasar global apalagi dalam mata uang asing akan menjadi pintu masuk bagi krisis
global ke pasar domestik. Bank-bank syariah yang banyak menanamkan investasinya
ke instrumen di pasar global, akan terpukul lebih parah dibandingkan bank-bank
syariah yang bermain di pasar domestik. Syariah tanpa menghayati jiwa syariah,
ibarat komat-kamit merapalkan doa tanpa merasakan kehadiran Yang Maha Mendengar
Doa.
Sumber: Republika, 13
April 2009