Selasa, 25 Agustus 2015

Formalitas Syariah Tanpa Jiwa

Krisis global mulai unjuk gigi kepada siapa pun yang tidak siap menghadapinya. Bank-bank besar, korporasi-korporasi besar dengan reputasi ratusan tahun terpaksa gulung tikar. Lembaga keuangan syariah pun mulai terkena imbasnya, khususnya yang hanya mementingkan pemenuhan aspek formalitas syariah, tapi melupakan jiwa syariah itu sendiri. Diawali dengan kenaikan harga minyak akibat perang berkepanjangan, yang membuat negara-negara Teluk kebanjiran petro dolar. Melimpahnya likuiditas ini mendorong agresivitas investasi untuk mencari keuntungan. Di sisi lain, kesadaran akan nilai-nilai religi mendorong munculnya permintaan akan produk investasi yang sesuai dengan syariah. Salah satu ciri produk investasi syariah adalah adanya underlying asset untuk setiap transaksi finansial. 
Nah, tingginya permintaan produk investasi yang memiliki underlying asset ini, disambut oleh bank-bank besar dengan merancang produk yang dikaitkan dengan komiditas tertentu, antara lain minyak, tembaga, emas dan minyak sawit. Produk investasi yang dikenal dengan nama commodity murabahah ini menjadi sangat populer di kalangan perbankan syariah di luar negeri.
Bursa komoditas berjangka mendapatkan momentum baru dengan perkembangan ini. Volume perdagangan meningkat cepat. Bila tadinya harga minyak di bursa komoditas berjangka mengikuti harga minyak di pasar spot karena volumenya kecil, kini harga minyak di pasar spot mengikuti harga minyak di bursa berjangka. Keadaan ini semakin mendorong meroketnya harga minyak.
Kenaikan harga minyak yang meroket serta-merta membuat kawasan Teluk kebanjiran petro dolar dan melambungkan daya beli kawasan ini. Harga-harga properti di kawasan Teluk meroket karena ekspektasi pasar yang berlebihan seakan-akan Dubai, Qatar, dan negara-negara kawasan Teluk lainnya akan menjelma menjadi pusat keuangan dunia menggantikan New York dan London. Pengembangan pulau buatan manusia berbentuk pohon kurma, Buruj al Arab sebagai bangunan tertinggi di dunia, semakin melambungkan ekspektasi pasar akan permintaan yang tinggi terhadap sektor properti. Tak ayal lagi harga properti di kawasan ini melambung tinggi.
Meskipun harga properti melambung demikian tinggi, namun kenaikan harga minyak seakan telah memberikan daya beli hampir tak terbatas. Euforia yang timbul akibat money illusion dari kenaikan harga minyak dan naiknya harga properti, mendorong bank-bank di kawasan ini, termasuk bank syariah, untuk mengucurkan pembiayaan di sektor properti. Ketika pasar mengoreksi dirinya sendiri dan harga-harga komoditas, termasuk harga minyak, turun mendekati harga wajarnya, semua pihak seakan terbangun dari mimpi. Mereka yang berinvestasi dalam product commodity murabahah yang tadinya merasa yakin investasinya aman karena sifatnya yang fixed return dan dijamin oleh komoditas tertentu, kini mulai menyadari risiko yang timbul.
Dengan turunnya harga komoditas yang dijadikan jaminan, nilai barang jaminannya tidak lagi dapat menutupi jumlah piutang murabahah, yang selanjutnya membuat nilai investasinya dalam ukuran nilai terkoreksi risiko (risk-adjusted return) melorot. Secara legal, tagihan piutang murabahah-nya memang tidak menurun, namun risikonya meningkat akibat turunnya nilai jaminan.
Bila bank syariah yang memiliki product commodity murabahah adalah bank komersial dan mencatatnya sebagai produk penghimpunan dana, dan ketika berinvestasi di pasar komoditas mencatatnya sebagai aktiva produktif, penurunan nilai jaminan ini akan menyebabkan bank tersebut harus mencatat biaya tambahan untuk memenuhi kewajiban pembentukan cadangan aktiva produktif. Selanjutnya, laba bank tersebut akan terpukul.
Bila bank syariah yang memiliki product commodity murabahah adalah bank investasi dan mencatatnya sebagai produk investasi nasabah, nasabahlah yang harus menanggung kenaikan risikonya. Secara legal, nilai investasi nasabah tidak berkurang, namun secara akuntansi kenaikan risiko ini terlihat pada penurunan nilai pasar investasi dalam buku nasabah.
Penurunan harga komoditas juga mengakibatkan koreksi atas pasar properti dengan turunnya harga properti, di samping akan menekan kapasitas likuiditas pasar. Keadaan ini memukul bank dua kali. Pertama, nasabah mulai kesulitan membayar cicilan pembiayaan propertinya. Kedua, nilai jaminan berupa properti menurun sehingga menambah biaya bank untuk membentuk cadangan aktiva produktif.
Dampak negatif inilah yang menyebabkan bank syariah terjebak dalam formalitas mekanis ketentuan syariah. Secara formalitas syariah, teknis operasional dan struktur produknya sesuai dengan syariah. Namun, jiwa transaksi syariah tidak terpenuhi. Pertama, fisik komoditas yang diperdagangkan jauh lebih sedikit dibandingkan volume perdagangannya karena sebagian besar transaksi commodity murabahah yang dilakukan tidak diikuti dengan penyerahan barang. Adanya underlying asset lebih ditujukan kepada pemenuhan rukun jual beli, yaitu ma’kud alaih (adanya objek transaksi), namun jiwa rukun tersebut yang dimaksudkan mencegah terpisahnya (decoupling) sektor keuangan dengan sektor riil tidak terpenuhi.
Kedua, melambungnya harga properti dan harga komoditas di luar batas kewajarannya merupakan indikasi adanya distorsi pasar. Dari sisi permintaan distorsi ini dapat didorong oleh impulsive buying akibat naiknya daya beli secara tiba-tiba. Dari sisi penawaran, distorsi ini dapat didorong oleh rekayasa harga oleh beberapa pemain konvensional besar di pasar komoditas dan di pasar properti. Kekuatan rekayasa harga semakin besar bila harga di pasar spotmengikuti harga berjangka, karena volume perdagangan pasar itu jauh lebih kecil daripada volume perdagangan pasar berjangka.
Ketiga, investasi pada instrumen di pasar global apalagi dalam mata uang asing akan menjadi pintu masuk bagi krisis global ke pasar domestik. Bank-bank syariah yang banyak menanamkan investasinya ke instrumen di pasar global, akan terpukul lebih parah dibandingkan bank-bank syariah yang bermain di pasar domestik. Syariah tanpa menghayati jiwa syariah, ibarat komat-kamit merapalkan doa tanpa merasakan kehadiran Yang Maha Mendengar Doa.

 Sumber: Republika, 13 April 2009