Jumat, 06 Maret 2015

Wisata Syariah di Indonesia

sumber: http://gayahidup.republika.co.id/
Post kali ini sebenarnya timbul karena saya sedikit bingung membedakan antara wisata syariah dan wisata religi. Tetapi lebih jauh, menurut saya wisata syariah menawarkan konsep dan cakupan lebih luas apabila dibandingkan wisata religi. Jika wisata  religi lebih fokus pada objek destinasi wisatanya bersifat religius seperti tempat ibadah, makam-makam sunan, napak tilas sejarah para pejuang agama, dan sebagainya, wisata syariah menawarkan konsep yang lebih luas yaitu lebih pada aspek akomodasi dan cara pelayanan syariah seperti misalnya kolam renang laki-laki dan perempuan terpisah, penginapan tidak menerima yang bukan muhrimnya, tidak meninggalkan ibadah wajib seperti shalat dan layanan lain yang mengacu pada standar-standar syariah. Sehingga, wisata syariah tidak terbatas pada objek destinasi wisata, semua lokasi wisata dapat yang cocok dijadikan komoditi wisata bisa dijadikan objek wisata tetapi tetap berpegang pada layanan syariah. Produk dan jasa wisata, serta tujuan wisata dalam pariwisata syariah adalah sama seperti wisata umumnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan etika syariah. Contohnya adalah menyediakan tempat ibadah nyaman.
sumber: www.suaranews.com
Indonesia ada di posisi enam untuk destinasi wisata muslim dunia pada Indeks Perjalanan Muslim Global MasterCard-Crescent Rating 2015. Peringkat pertama hingga ke lima berturut-turut ditempati Malaysia, Turki, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Qatar. Indeks Perjalanan Muslim Global MasterCard-Crescent Rating menilai berdasarkan berbagai kriteria termasuk kecocokan sebagai destinasi liburan keluarga, tingkat layanan dan fasilitas yang disediakan, pilihan akomodasi, inisiatif pemasaran serta kedatangan pengunjung. Kelebihan wisata Indonesia adalah sumber daya alam yang sangat kaya dan lebih bagus dari Singapura dan Malaysia.  Hanya saja belum dikemas dan di-branding. Wisata syariah di Indonesia juga perlu meningkatkan sumber daya manusia di industri pariwisata juga harus disiapkan supaya bisa mengerti dan memahami seluk beluk wisata muslim misalnya seorang tour planner harus bisa mengatur jadwal wisata muslim dengan baik, misalnya memandu jadwal shalat,  memilih tempat shalat yang nyaman dan restoran halal. Selain itu objek wisata dan infrastruktur pendukung wisata syariah seperti mushola juga harus dipersiapkan dengan baik.   
Obyek wisata syariah harus memiliki akomodasi penginapan yang sesuai dengan standar syari’ah melalui sertifikat dari Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia ( DSN-MUI). Namun mengingat saat ini masih sedikit sekali hotel yang mendapat sertifikat dari DSN-MUI maka paling tidak hotel atau penginapan yang tersedia harus memenuhi hal-hal berikut:

  1. Tersedia fasilitas yang layak untuk bersuci
  2. Tersedia fasilitas yang memudahkan untuk beribadah
  3. Tersedia makanan dan minuman halal
  4. Fasilitas dan suasana yang aman, nyama dan kondusif untuk keluarga dan bisnis.
  5. Terjaga kebersihan sanitasi dan lingkungan.
Dikutip dalam mysharing.co perekonomian negara-negara mayoritas Islam yang semakin meningkat membuat daya beli masyarakatnya pun turut terdongkrak, sehingga membuatnya menjadi pasar yang potensial. Untuk menangkap potensi tersebut, pemerintah harus menyiapkan standarisasi pada empat sektor fokus wisata syariah, yaitu hotel, restoran, agen perjalanan dan spa.
Seluruh restoran dan penyedia makanan-minuman di objek wisata syariah harus terjamin kehalalan makanan yang disajikannya, sejak dari bahan baku hingga proses penyediaan bahan baku dan proses memasaknya. Cara yang paling baik adalah restoran, kafe maupun jasa boga tersebut sudah mendapatkan sertifikat halal dari LP POM MUI. Kalau cara tersebut belum dapat dilakukakan mengingat berbagai kendala maka minimal hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

  1. Terjamin kehalalan makanan-minuman dengan sertifikat Halal MUI
  2. Ada jaminan Halal dari MUI setempat, tokoh muslim atau pihak terpercaya, dengan memenuhi kebutuhan yang detetapkan
  3. Terjaga lingkungan sehat dan bersih
Fasilitas spa dan sejenisnya bila hendak melayani wisatawan dengan konsep wisata syariah ini, antara lain:

  1. Terapis pria untuk pelanggan pria dan terapis wanita untuk pelanggan wanita.
  2. Tidak mengandung unsure pornoaksi dan pornografi
  3. Menggunakan bahan yang halal
  4. Tersedia sarana yang memudahkan untuk beribadah.
Biro Perjalanan Wisata Syariah berperan penting dalam penerapan prinsip syariah di dunia wisata, karena berbagai aturan dan jenis layanan syariah yang diterapkan oleh agen atau biro wisata maka seorang guide atau tour planner haruslah seorang muslim atau muslimah. Disamping itu ia harus memenuhi syarat berikut:

  1. Memahami dan melaksanakan nilai-nilai syariah dalam menjalankan tugas.
  2. Berahlak, ramah, jujur dan bertanggungjawab.
  3. Berpenampilan sopan nilai dan etika islam.
  4. Memiliki kompetensi kerja.
sumber: mysharing.co
Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan 13 provinsi sebagai destinasi wisata syariah, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Penetapan destinasi syariah ini penting karena pariwisata syariah bukan hanya berupa daya tarik objek wisata religi atau tempat wisata ziarah semata, tetapi harus ada fasilitas pendukung, seperti hotel, restoran, spa maupun fasilitas lainnya yang memenuhi standar syariah Islam. Sembilan destinasi wisata syariah seperti yang dikutip dalam mysharing.co dinilai dari hasil kajian berdasarkan kesiapan sumber daya manusia (SDM), budaya masyarakat setempat, serta fasilitas wisata yang tersedia, seperti hotel, restoran, objek wisata dan daya tarik wisata lainnya antara lain: 
  1. Aceh, Tanah Serambi Mekkah
  2. Jelajahi Lampung Dari Krakatau Sampai Kerajaan Sekala Brak
  3. Menelusuri Peninggalan Kerajaan Siak di Riau
  4. Mengenal Lebih Dekat Wisata Syariah Minangkabau
  5. Berwisata Religi ke Banten
  6. Menyusuri Wisata Syariah di Kota Jakarta
  7. Menelisik Keragaman Budaya Sunda
  8. Susuri Sejarah Penuh Warna di Jawa Tengah
  9. Wisata Syariah Sarat Budaya di Yogyakarta
  10. Jelajahi Keindahan Alam dan Indahnya Islam di Jawa Timur
  11. Wisata Religi dan Magisnya Alam di Sulawesi Selatan
  12. Harmoni Wisata Syariah di Bali
  13. Menyusuri Jejak Islam dengan Berwisata Syariah di Lombok
Sources:
http://mysharing.co/wisata-syariah-sebaiknya-ke-mana/
http://travel.kompas.com/read/2014/01/07/1717322/Inilah.9.Destinasi.Wisata.Syariah.di.Indonesia
http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/15/01/31/nj1met-inikah-alasan-wisata-syariah-indonesia-kurang-maju

Penerapan Dual System pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


sumber: www.republika.co.id
Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Takdir tidak dapat ditolak, hanya saja sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.
Dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah. Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.

sumber: www.dream.co.id
Dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sistem perncanaan yang dikenal dalam mekanisme asuransi. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, sesama manusia harus tolong menolong (ta’awun) dan saling berbuat kebajikan (tabaru’) dan saling menanggung (takaful). Prinsip ini merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Dari pijakan filosofis ini, setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam asuransi syariah, yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja sama dan saling berbagi satu sama lain.
Jika dikaitkan dengan ikhtiar, Allah SWT meminta manusia untuk hidup teratur penuh rencana dan strategi. Perencanaan yang baik bukan saja dalam mencari nafkah dan menggapai ridho-Nya tetapi juga dalam mengantisipasi musibah dan hal-hal yang tidak diinginkan. Diantara cara yang dilakukan manusia untuk antisipasi antara lain dengan menabung atau meminjam. Hanya saja terkadang tabungan terlalu kecil dibandingkan dengan besarnya biaya musibah dan pinjaman tidak selalu tersedia setiap saat. Disinilah manusia harus mengupayakan cara lain dengan cara bersama-sama saling membantu, saling menanggung dan saling menjamin (ta’awun, tadhamun, takaful). Maka asuransi bukanlah upaya melawan takdir tetapi termasuk kedalam melakukan ikhtiar agar maqashid syariah dapat terjaga (menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, harta) sesuai anjuran Islam. Berusaha, membuat perencanaan, sarta mempersiapkan diri melalui asuransi adalah bagian dari ikhtiar untuk menghadapi takdir itu sendiri. Berasuransi bukan berarti menentang qadha dan qadar Allah SWT tetapi merupakan tindakan preventif atau pencegahan terhadap peristiwa yang mungkin terjadi dan tidak mengurangi kepercayaan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Allah SWT.

sumber: www.kaskus.co.id
Untuk merealisasikan sistem jaminan sosial pemerintah menerbitkan UU No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tetapi Undang-undang tersebut implementasinya terlambat yaitu baru diselenggarakan pada awal tahun 2014. Badan penyelenggara jaminan sosial ( BPJS) adalah badan hukum publik yang di bentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menjadi pengganti layanan kesehatan dari PT. Askes dan PT. Jamsostek. BPJS Kesehatan adalah program SJSN yang dikhususkan untuk pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia yang menitikberatkan kepada pemerataan pelayanan kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan adalah transformasi dari PT Jamsostek. BPJS Ketenagakerjaan adalah program SJSN yang dikhususkan untuk pelayanan bagi tenaga kerja atau karyawan dalam bentuk jaminan asuransi untuk hari tua. Jadi intinya BPJS Ketenagakerjaan fokus untuk jaminan pensiunan bagi para karyawan. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap ke seluruh lapisan masyarakat.
Prof.Dr Ahmad Muhammad ‘Assal, Guru Besar Universitas Riyadh, Saudi Arabia, dalam buku An-Nizam al-Iqtishadity al Islami, menyebutkan bahwa rukun paling mendasar dari ekonomi Islam ada tiga, yaitu, kepemilikan (al-milkiyyah), kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy). Jaminan sosial, dengan demikian, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam, karena itu secara substansial program pemerintah Indonesia menerapkan sistem jaminan sosial di Indonesia, melalui konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesungguhnya merupakan tuntutan dari ajaran syariah.
Jaminan sosial dalam Islam, terdiri dari dua macam. Pertama, jaminan sosial tradisional yaitu tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan pajak yang dananya digunakan untuk kepentingan penjaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan kualitas hidup yang minimum bagi seluruh masyarakat, khususnya asnaf yang telah ditetapkan. Jaminan sosial dalam pengertian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan negara. Jaminan sosial dalam bentuk ini bertujuan humanis (filantropis) serta tujuan-tujuan bermanfaat sosial lainnya menurut syariat Islam, seperti pendidikan, kesehatan bahkan sandang dan pangan. Jaminan sosial tradisional tidak mewajibkan rakyat membayar sejumlah iuran atau premi premi ke lembaga negara (Badan Pengelola Jaminan Sosial), karena sumber dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, wakaf, diyat, kafarat, warisan, dan sebagainya. Kedua, Jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (at-takmin al-ta’awuniy). Dalam konsep jaminan sosial, baik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua dan kematian, seluruh rakyat diwajibkan untuk membayar premi secara terjangkau. Konsep jaminan sosial dalam bentuk at-takmin at-ta’awuniy ini, merupakan implementasi dari perintah Al-quran agar hambanya saling menolong (ta’awun), dan saling melindungi. Implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. Konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS sesungguhnya adalah penerapan at-takmin at-ta’awuniy yang sangat didukung dan didorong oleh ajaran syariah Islam. Konsep Islam mengenai jaminan sosial ini sejalan pula dengan UUD 1945. Landasan konstitusional Negara Indonesia ini dengan jelas mengintruksikan bahwa salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah dengan mengembangkan suatu sistem jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).
Dalam UU BPJS No 40/2011 disebutkan bahwa sistem Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Pasal 3 UU BPJS menyebutkan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya. Pelayanan kesehatan menduduki posisi yang sangat penting dalam syariah. Pelayanan kesehatan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu melihara diri (jiwa) atau biasa disebut dengan istilah hifz al-nafs. Resiko-risiko yang mungkin dialami oleh para karyawan, juga harus dilindungi, termasuk jaminan hari tua dan kematian para karyawan. Sebagai umat muslim harus mendukung kehadiran BPJS. Dengan kehadiran BPJS diharapkan persoalan layanan kesehatan yang masih menjadi beban berat bagi sebagian besar warga bisa teratasi sedikt demi sedikit. Karena kandungan kemaslahatan dan maqashid syariah yang demikian nyata, maka semua warga Negara Indonesia harus mengikuti program ini demi terciptanya tolong menolong (at-ta’awun) nasional
Program jaminan sosial melalui BPJS secara substansial merupakan kehendak syariah. Namun, saat ini pelaksana BPJS adalah PT. Askes dan PT. Jamsostek, sistem pengelolaan dana jaminan sosial tersebut menganut sistem riba, maka seharusnya sistem pengelolaan (menajemennya) perlu dibentuk unit syariah yang menjalankan system operasinya seuai dengan prinsip syariah. Ketika program jaminan social dikelola sebuah lembaga, seperti BPJS, maka prinsip-prinsip at-takmin at-ta’awuniy (asuransi sosial), seharusnya diterapkan. Untuk menerapkan prinsip itulah diperlukan Unit Syariah. Dalam Unit Syariah, dana premi yang dibayarkan peserta, dibagi kepada beberapa bagian. Bagian pertama untuk dana tabarru’,yang akan digunaan untuk membayar klaim jika peserta sakit, sehingga sumber dananya jelas (tidak gharar). Bagian yang lainnya digunakan untuk ujrah (fee) bagi pengelola BPJS. Konsep asuransi syariah salah satunya adalah memisahkan dana tabarru’ dengan dana yang lain, sehinga dananya tidak saling bercampur. Dana jaminan sosial berprinsip syariah yang terkumpul nantinya diinvestasikan di investasi yang halal, produktif dan mendatangkan manfaat bagi perekonoman Indonesia seperti investasi di Sukuk Negara (SBSN), perbankan syariah dan sukuk corporate syariah seperti multifinance syariah, pegadaian syariah, Lembaga Pembiayaan Ekspor Syariah (Indonesia Exim bank) serta pasar modal syariah.


Penerapan BPJS dengan prinsip syariah didukung oleh pendapat beberapa pihak antara lain Muhaimin Iqbal yaitu pegiat ekonomi syariah dalam Hidayatullah.com yang menyatakan bahwa hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan mengkriminalkan umat Islam yang anti-riba. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan dana jaminan sosial tersebut menganut sistem riba.Iqbal merujuk kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang haramnya bunga bank. Fatwa itu juga menyebut lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan jasa asuransi konvensional mengelola dan secara haram/riba. Iqbal menawarkan dua solusi mengenai hal ini. Pertama, PT. Askes dan PT. Jamsostek diaudit oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan bersedia menerapkan sistem syariah. Kedua, melibatkan lembaga asuransi syariah dalam BPJS supaya umat Islam punya pilihan.
Pengamat ekonomi syariah lain yang mendukung penerapan BPJS dengan sistem syraiah adalah Adiwarman Karim yang seperti dikutip di Republika.co.id menyatakan BPJS syariah adalah ide cemerlang. Jika memang nanti ada, ia berharap masyarakat bisa lebih memilih BPJS syariah. Dana yang terkumpul dari masyarakat akan membutuhkan instrumen keuangan syariah pula dan likuiditas keuangan syariah meningkat. Untuk dana pensiun, pasar modal syariah bisa digunakan. Asuransi syariah juga bisa dimanfaatkan untuk jaminan kesehatan. Perbankan syariah akan ikut berkembang karena ada dana yang disimpan di bank syariah. BPJS syariah akan jadi lokomotif baru bagi keuangan syariah nasional.
Karena proses masih berjalan, ia mengungkapkan masyarakat bisa menggunakan dulu BPJS yang ada. Tapi, umat memang tidak boleh diam dan harus berupaya membuat BPJS syariah. Menurutnya, ini manuver strategis bagi Indonesia sebab jika terlaksana, BPJS syriah akan jadi sistem pengaman sosial syariah pertama dan terbesar di dunia.
Pelaksanaan BPJS syariah juga didukung oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu seperti yang dikutip dalam Dream.co.id yaitu disampaikan Kepala Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional MUI Ma'ruf Amin. Menurut Ma'ruf, aturan BPJS syariah ini diharapkan bisa dikeluarkan secepatnya. Hal ini mengingat adanya permintaan masyarakat yang lebih nyaman menggunakan perhitungan secara syariah. Ma'ruf menyatakan selain mempersiapkan sistem syariah, yang penting disiapkan dalam menjalankan keuangan syariah adalah pemimpin yang berpikiran syariah.
Ketua Nahdlatul Ulama Slamet Effendi Yusuf juga mendorong perlunya pemerintah membentuk BPJS Syariah seperti yang dikutip dalam ekbis.sindonews.com yaitu urgensi BPJS Syariah ini adalah untuk memberi kemantapan dan keyakinan, rasa nyaman dan rasa aman di hati orang Muslim di dalam mengikuti program BPJS. Menurut Slamet, ada opsi dan pilihan yang dan dibuka oleh pemerintah bagi umat islam yang ingin mengikuti BPJS yang sesuai dengan syariah di semua aspeknya. Agar BPJS Syariah ini dapat terealisasi, menurut Slamet, maka perlu dilibatkan lembaga keuangan syariah seperti asurasi syariah dan perbankan syariah dengan demikian warna keislamannya itu menjadi terlihat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku badan pengelola jasa keuangan dan perbankan melalui Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank OJK Firdaus Djaelani menyatakan akan membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) syariah. Hal ini dilakukan berdasarkan isu atau wacana yang berkembang dari Majelis Ulama Indonesia mengenai BPJS syariah.
Lembaga lain yang mendukung adanya BPJS syariah adalah LDII, Menurut Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso, mewujudkan BPJS Syariah sangat mudah bila pemerintah memiliki kemauan. Selain itu BPJS Syariah tak bertentangan dengan dengan landasan filosofis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, pada UUD 1945 negara Indonesia mendasarkan diri pada budi pekerti, moral, dan nilai agama. Hak asasi boleh dibatasi, namun yang membatasi adalah undang-undang. Umat Islam Indonesia tanpa memberangus hak-hak beragama umat lain juga memiliki hak untuk menjalankan ibadah seperti perniagaan yang sesuai syariah.

Sources:







Minggu, 01 Maret 2015

Melirik Skema Ijarah dan IMBT di Perbankan Syariah

sumber: www.m13pass.com
Sampai saat ini, mayoritas produk jual beli di lembaga keuangan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli dengan margin keuntungan). Pembiayaan murabahah dan pembiayaan ijarah pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan keduanya hanya pada objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. Sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani dengan skema murabahah. Dengan akad ijarah, bank syariah dapat melayani nasabah yang hanya membutuhkan sewa jasa.
Menurut asumsi saya transaksi jual beli dengan prinsip ijarah sebenarnya lebih menarik dibandingkan jenis transaksi murabahah karena pembiayaan ijarah mempunyai keistimewaan antara lain untuk memulai kegiatan usaha, pengusaha tidak perlu memiliki atau membeli barang atau modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan penyewaan kepada lembaga keuangan berprinsip syariah. Kefleksibelan pembiayaan ijarah  pada bank syariah sebenarnya memberikan kemudahan bagi para nasabah. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, disini nasabah terdapat dua pilihan dalam akad ijarah,yaitu nasabah dapat menggunakan jasa atau manfaat dari barang dan jasa tertentu tanpat harus memiliki barang tersebut secara permanen. Yang kedua adalah nasabah dapat memiliki kesempatan untuk memikili barang atau jasa yang diinginkan atau dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). 
Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan keuntungan baik pada bank syariah ataupun nasabah. Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal dengan harga yang tidak terjangkau, maka akan lebih mudah menggunakan sistem ijarah atau ijarah muntahiya bittamlik. Sedangkan bagi bank syariah, skema akad ini mempercepat perputaran uang dan memajukan sistem investasi  yang dinamis.