sumber: www.republika.co.id |
Dalam
Al Qur’an surat Yusuf ayat 43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia
membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang
mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi
betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat
tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah
mengering tidak berbuah. Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf,
dalam hal ini menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari
hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh
tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi
masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.
sumber: www.dream.co.id |
Dalam
ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan
memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat
diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan
Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan
sistem perncanaan yang dikenal dalam mekanisme asuransi. Untuk dapat meraih
kehidupan bersama, sesama manusia harus tolong menolong (ta’awun) dan saling berbuat kebajikan (tabaru’) dan saling menanggung (takaful).
Prinsip ini merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk
sosial. Dari pijakan filosofis ini, setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam
asuransi syariah, yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja sama dan
saling berbagi satu sama lain.
Jika
dikaitkan dengan ikhtiar, Allah SWT meminta manusia untuk hidup teratur penuh
rencana dan strategi. Perencanaan yang baik bukan saja dalam mencari nafkah dan
menggapai ridho-Nya tetapi juga dalam mengantisipasi musibah dan hal-hal yang
tidak diinginkan. Diantara cara yang dilakukan manusia untuk antisipasi antara
lain dengan menabung atau meminjam. Hanya saja terkadang tabungan terlalu kecil
dibandingkan dengan besarnya biaya musibah dan pinjaman tidak selalu tersedia
setiap saat. Disinilah manusia harus mengupayakan cara lain dengan cara bersama-sama
saling membantu, saling menanggung dan saling menjamin (ta’awun, tadhamun, takaful). Maka asuransi bukanlah upaya melawan
takdir tetapi termasuk kedalam melakukan ikhtiar agar maqashid syariah dapat
terjaga (menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, harta) sesuai anjuran Islam.
Berusaha, membuat perencanaan, sarta mempersiapkan diri melalui asuransi adalah
bagian dari ikhtiar untuk menghadapi takdir itu sendiri. Berasuransi bukan
berarti menentang qadha dan qadar Allah SWT tetapi merupakan tindakan preventif
atau pencegahan terhadap peristiwa yang mungkin terjadi dan tidak mengurangi
kepercayaan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Allah SWT.
sumber: www.kaskus.co.id |
Untuk
merealisasikan sistem jaminan sosial pemerintah menerbitkan UU No.24/2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tetapi Undang-undang
tersebut implementasinya terlambat yaitu baru diselenggarakan pada awal tahun
2014. Badan penyelenggara jaminan sosial ( BPJS) adalah badan hukum publik yang
di bentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS
kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menjadi pengganti
layanan kesehatan dari PT. Askes dan PT. Jamsostek. BPJS Kesehatan adalah
program SJSN yang dikhususkan untuk pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia yang menitikberatkan kepada pemerataan pelayanan kesehatan.
Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan adalah transformasi dari PT
Jamsostek. BPJS Ketenagakerjaan adalah program SJSN yang dikhususkan untuk
pelayanan bagi tenaga kerja atau karyawan dalam bentuk jaminan asuransi untuk
hari tua. Jadi intinya BPJS Ketenagakerjaan fokus untuk jaminan pensiunan bagi
para karyawan. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan
program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap ke seluruh lapisan
masyarakat.
Prof.Dr
Ahmad Muhammad ‘Assal, Guru Besar Universitas Riyadh, Saudi Arabia, dalam buku
An-Nizam al-Iqtishadity al Islami, menyebutkan bahwa rukun paling mendasar dari
ekonomi Islam ada tiga, yaitu, kepemilikan (al-milkiyyah),
kebebasan (al-hurriyyah) dan jaminan
sosial (at-takaful al-ijtima’iy).
Jaminan sosial, dengan demikian, menduduki posisi yang sangat penting dalam
Islam, karena itu secara substansial program pemerintah Indonesia menerapkan
sistem jaminan sosial di Indonesia, melalui konsep Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) sesungguhnya merupakan tuntutan dari ajaran syariah.
Jaminan
sosial dalam Islam, terdiri dari dua macam. Pertama, jaminan sosial tradisional
yaitu tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui
instrumen-instrumen seperti zakat, infak, sedekah, wakaf dan pajak yang dananya
digunakan untuk kepentingan penjaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan kualitas hidup
yang minimum bagi seluruh masyarakat, khususnya asnaf yang telah ditetapkan. Jaminan sosial dalam pengertian ini
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan negara.
Jaminan sosial dalam bentuk ini bertujuan humanis (filantropis) serta
tujuan-tujuan bermanfaat sosial lainnya menurut syariat Islam, seperti
pendidikan, kesehatan bahkan sandang dan pangan. Jaminan sosial tradisional
tidak mewajibkan rakyat membayar sejumlah iuran atau premi premi ke lembaga
negara (Badan Pengelola Jaminan Sosial), karena sumber dananya berasal dari
zakat, infak, sedekah, wakaf, diyat,
kafarat, warisan, dan sebagainya. Kedua, Jaminan sosial yang berbentuk
asuransi sosial (at-takmin al-ta’awuniy).
Dalam konsep jaminan sosial, baik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hari
tua dan kematian, seluruh rakyat diwajibkan untuk membayar premi secara
terjangkau. Konsep jaminan sosial dalam bentuk at-takmin at-ta’awuniy ini, merupakan implementasi dari perintah
Al-quran agar hambanya saling menolong (ta’awun),
dan saling melindungi. Implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan
dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. Konsep Jaminan Kesehatan
Nasional dan BPJS sesungguhnya adalah penerapan at-takmin at-ta’awuniy yang sangat didukung dan didorong oleh
ajaran syariah Islam. Konsep Islam mengenai jaminan sosial ini sejalan pula
dengan UUD 1945. Landasan konstitusional Negara Indonesia ini dengan jelas
mengintruksikan bahwa salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah dengan mengembangkan suatu
sistem jaminan sosial (at-takaful
al-ijtima’iy).
Dalam
UU BPJS No 40/2011 disebutkan bahwa sistem Jaminan Sosial adalah salah satu
bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Pasal 3 UU BPJS menyebutkan bahwa BPJS
bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan, terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota
keluarganya. Pelayanan kesehatan menduduki posisi yang sangat penting dalam
syariah. Pelayanan kesehatan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu
melihara diri (jiwa) atau biasa disebut dengan istilah hifz al-nafs. Resiko-risiko yang mungkin dialami oleh para
karyawan, juga harus dilindungi, termasuk jaminan hari tua dan kematian para
karyawan. Sebagai umat muslim harus mendukung kehadiran BPJS. Dengan kehadiran
BPJS diharapkan persoalan layanan kesehatan yang masih menjadi beban berat bagi
sebagian besar warga bisa teratasi sedikt demi sedikit. Karena kandungan kemaslahatan dan maqashid syariah yang demikian nyata, maka semua warga Negara
Indonesia harus mengikuti program ini demi terciptanya tolong menolong (at-ta’awun) nasional
Program
jaminan sosial melalui BPJS secara substansial merupakan kehendak syariah.
Namun, saat ini pelaksana BPJS adalah PT. Askes dan PT. Jamsostek, sistem
pengelolaan dana jaminan sosial tersebut menganut sistem riba, maka seharusnya
sistem pengelolaan (menajemennya) perlu dibentuk unit syariah yang menjalankan
system operasinya seuai dengan prinsip syariah. Ketika program jaminan social
dikelola sebuah lembaga, seperti BPJS, maka prinsip-prinsip at-takmin at-ta’awuniy (asuransi
sosial), seharusnya diterapkan. Untuk menerapkan prinsip itulah diperlukan Unit
Syariah. Dalam Unit Syariah, dana premi yang dibayarkan peserta, dibagi kepada
beberapa bagian. Bagian pertama untuk dana tabarru’,yang
akan digunaan untuk membayar klaim jika peserta sakit, sehingga sumber dananya
jelas (tidak gharar). Bagian yang
lainnya digunakan untuk ujrah (fee)
bagi pengelola BPJS. Konsep asuransi syariah salah satunya adalah memisahkan
dana tabarru’ dengan dana yang lain,
sehinga dananya tidak saling bercampur. Dana jaminan sosial berprinsip syariah
yang terkumpul nantinya diinvestasikan di investasi yang halal, produktif dan
mendatangkan manfaat bagi perekonoman Indonesia seperti investasi di Sukuk
Negara (SBSN), perbankan syariah dan sukuk corporate
syariah seperti multifinance syariah, pegadaian syariah, Lembaga Pembiayaan
Ekspor Syariah (Indonesia Exim bank) serta pasar modal syariah.
Penerapan
BPJS dengan prinsip syariah didukung oleh pendapat beberapa pihak antara lain Muhaimin
Iqbal yaitu pegiat ekonomi syariah dalam Hidayatullah.com yang menyatakan bahwa
hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan mengkriminalkan umat
Islam yang anti-riba. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan dana jaminan
sosial tersebut menganut sistem riba.Iqbal merujuk kepada fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang haramnya bunga bank. Fatwa itu juga
menyebut lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan jasa asuransi konvensional
mengelola dan secara haram/riba. Iqbal menawarkan dua solusi mengenai hal ini.
Pertama, PT. Askes dan PT. Jamsostek diaudit oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)
MUI dan bersedia menerapkan sistem syariah. Kedua, melibatkan lembaga asuransi
syariah dalam BPJS supaya umat Islam punya pilihan.
Pengamat
ekonomi syariah lain yang mendukung penerapan BPJS dengan sistem syraiah adalah
Adiwarman Karim yang seperti dikutip di Republika.co.id menyatakan BPJS syariah
adalah ide cemerlang. Jika memang nanti ada, ia berharap masyarakat bisa lebih
memilih BPJS syariah. Dana yang terkumpul dari masyarakat akan membutuhkan
instrumen keuangan syariah pula dan likuiditas keuangan syariah meningkat. Untuk
dana pensiun, pasar modal syariah bisa digunakan. Asuransi syariah juga bisa
dimanfaatkan untuk jaminan kesehatan. Perbankan syariah akan ikut berkembang
karena ada dana yang disimpan di bank syariah. BPJS syariah akan jadi lokomotif
baru bagi keuangan syariah nasional.
Karena proses masih berjalan, ia mengungkapkan masyarakat bisa menggunakan dulu BPJS yang ada. Tapi, umat memang tidak boleh diam dan harus berupaya membuat BPJS syariah. Menurutnya, ini manuver strategis bagi Indonesia sebab jika terlaksana, BPJS syriah akan jadi sistem pengaman sosial syariah pertama dan terbesar di dunia.
Karena proses masih berjalan, ia mengungkapkan masyarakat bisa menggunakan dulu BPJS yang ada. Tapi, umat memang tidak boleh diam dan harus berupaya membuat BPJS syariah. Menurutnya, ini manuver strategis bagi Indonesia sebab jika terlaksana, BPJS syriah akan jadi sistem pengaman sosial syariah pertama dan terbesar di dunia.
Pelaksanaan
BPJS syariah juga didukung oleh Majelis Ulama Indonesia yaitu seperti yang
dikutip dalam Dream.co.id yaitu disampaikan Kepala Badan Pelaksana Harian Dewan
Syariah Nasional MUI Ma'ruf Amin. Menurut Ma'ruf, aturan BPJS syariah ini
diharapkan bisa dikeluarkan secepatnya. Hal ini mengingat adanya permintaan
masyarakat yang lebih nyaman menggunakan perhitungan secara syariah. Ma'ruf
menyatakan selain mempersiapkan sistem syariah, yang penting disiapkan dalam
menjalankan keuangan syariah adalah pemimpin yang berpikiran syariah.
Ketua
Nahdlatul Ulama Slamet Effendi Yusuf juga mendorong perlunya pemerintah
membentuk BPJS Syariah seperti yang dikutip dalam ekbis.sindonews.com
yaitu urgensi BPJS Syariah ini adalah untuk memberi kemantapan dan keyakinan,
rasa nyaman dan rasa aman di hati orang Muslim di dalam mengikuti program BPJS.
Menurut Slamet, ada opsi dan pilihan yang dan dibuka oleh pemerintah bagi umat
islam yang ingin mengikuti BPJS yang sesuai dengan syariah di semua aspeknya. Agar
BPJS Syariah ini dapat terealisasi, menurut Slamet, maka perlu dilibatkan
lembaga keuangan syariah seperti asurasi syariah dan perbankan syariah dengan
demikian warna keislamannya itu menjadi terlihat.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) selaku badan pengelola jasa keuangan dan perbankan melalui Kepala
Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank OJK Firdaus Djaelani menyatakan
akan membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) syariah. Hal ini
dilakukan berdasarkan isu atau wacana yang berkembang dari Majelis Ulama
Indonesia mengenai BPJS syariah.
Lembaga
lain yang mendukung adanya BPJS syariah adalah LDII, Menurut Ketua DPP LDII
Chriswanto Santoso, mewujudkan BPJS Syariah sangat mudah bila pemerintah
memiliki kemauan. Selain itu BPJS Syariah tak bertentangan dengan dengan
landasan filosofis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, pada UUD 1945
negara Indonesia mendasarkan diri pada budi pekerti, moral, dan nilai agama.
Hak asasi boleh dibatasi, namun yang membatasi adalah undang-undang. Umat Islam
Indonesia tanpa memberangus hak-hak beragama umat lain juga memiliki hak untuk
menjalankan ibadah seperti perniagaan yang sesuai syariah.
Sources:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar