sumber http://www.amaliah-astra.com/
Lembaga Keuangan Syariah sebagai salah satu lembaga yang terlibat dalam perkembangan ekonomi syariah dan sebagai mata pisau dari keuangan syariah harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh Islam yaitu riba (kelebihan) atau biasa dikenal dengan bunga, maysir (perjudian/spekulasi), gharar (ketidakjelasan). Untuk itu dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut. Dalam operasionalnya, Lembaga Keuangan Syariah harus selalu memenuhi prinsip:
- Keadilan, yakni berbagi keuntungan sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak yang telah disepakati saat akad
- Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
- Transparansi, lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
- Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).
Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
- Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai dengan fatwa DSN MUI,
- Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;
- Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit oriented, tetapi juga falah oriented, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;
- Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardh) guna transaksi sosial atau qardhul hasan (pinjaman kebajikan)
- Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan.
Lembaga keuangan syariah terdiri atas lembaga keuangan syariah bank dan lembaga keuangan syariah non-bank. Lembaga keuangan syariah bank adalah bank syariah dan BPR syariah sedangkan Lembaga keuangan syariah non bank antara lain pegadaian syariah, koperasi syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksa dana syariah, BMT, lembaga amil dan pengelola zakat dan sebagainya.
Menurut istilah zakat
berarti bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan Allah
kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu pula. Dalam Al-Quran seringkali kata zakat dipakai
bersamaan dengan kata shalat, yang
menegaskan adanya kaitan komplementer antara ibadah shalat dan zakat. Jika shalat
berdimensi vertikal- ketuhanan. Maka zakat merupakan ibadah yang berdimensi
ketuhanan-muamalah (hubungan dengan sesama).
Potensi zakat di Indonesia
mencapai 270 trilyun rupiah, belum lagi jika ditambah dengan infaq, shadaqah,
wakaf. Namun pada kenyataannya saat ini baru bisa terkumpul sebanyak sekitar 1%
(Republika, 2014). Ternyata salah satu penyebabnya adalah faktor kepercayaan muzakki yang rendah terhadap organisasi atau
lembaga pengelola zakat yang ada.
Kemunculan lembaga
keuangan Islam khususnya Lembaga Pengelolaan Zakat sebagai organisasi yang
relatif baru menimbulkan tantangan besar. Para pakar syariah Islam dan
akuntansi harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi
yang berbeda dengan standar akuntansi bank dan lembaga keuangan konvensional
seperti telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut menjadi kunci
sukses Lembaga Pengelolaan Zakat dalam melayani masyarakat di sekitarnya
sehingga dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan
bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam.
Akuntabilitas organisasi
pengelola zakat ditunjukkan dengan laporan keuangan serta audit terhadap
laporan keuangan tersebut. Untuk bisa disahkan sebagai organisasi resmi,
lembaga zakat harus menggunakan sistem pembukuan yang benar dan siap diaudit
akuntan publik. Ini artinya standar akuntansi untuk zakat mutlak diperlukan.
Maka tidak mungkin rasanya kewajiban zakat tersebut dapat diwujudkan dengan
optimal tanpa adanya pengelolaan yang baik termasuk didalamnya pencatatan
(fungsi akuntansi) yang menjamin terlaksananya prinsip keadilan.
Referensi:
- Universitas Islam Indonesia. Studi Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil Zakat Pada PT Semen Padang (2005)
- http://www.mag.co.id/lembaga-keuangan-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar